@article{Ramdan_2018, title={Aspek-Aspek Konstitusional Penodaan Agama Serta Pertanggungjawaban Pidananya di Indonesia}, volume={15}, url={https://jurnalkonstitusi.mkri.id/index.php/jk/article/view/1538}, DOI={10.31078/jk1538}, abstractNote={<p>Penodaan agama dalam konteks penafsiran konstitusi telah dijabarkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Putusan Nomor 140/PUU-VII/2009. UU Pencegahan Penodaan Agama tidak menentukan pembatasan kebebasan beragama, akan tetapi pembatasan untuk mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama serta pembatasan untuk melakukan penafsiran atau kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama yang dianut di Indonesia. Pembatasan-pembatasan tersebut hanya dapat dilakukan dengan Undang-Undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam masyarakat yang demokratis [vide Pasal 28J ayat (2) UUD 1945]. Tulisan ini akan menganalisis aspek-aspek konstitusionalitas penodaan agama serta pertanggungjawaban pidana dalam kasus yang dialami oleh Basuki Tjahaja Purnama. Karena pidatonya di kepulauan seribu memenuhi unsur-unsur tindak pidana dalam Pasal 156a KUHPidana berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara Nomor 1537/Pid.B/2016/PN.JktUtr. Konsep pertanggungjawaban pidana (criminal liability /toerekeningvatsbaarheid) atau sesungguhnya tidak hanya menyangkut soal hukum semata-mata, melainkan juga menyangkut soal nilai-nilai moral atau kesusilaan umum yang dianut oleh suatu masyarakat atau kelompok-kelompok dalam masyarakat. Analisis pertanggungjawaban pidana dalam delik penodaan agama Islam dalam tulisan ini menggunakan teori pertanggungjawaban pidana, putusan MK Nomor 140/PUU-VII/2009, Putusan Pengadilan tentang Penodaan Agama dan perbandingan pertanggungjawaban pidana di Belanda dan Inggris.</p><p><em>Blasphemy in the context of interpretation of the constitution has been elaborated by the Constitutional Court (MK) in Decision Number 140/PUU-VII/2009 The Prevention of Blasphemy Law does not specify restrictions on religious freedom, but restrictions on issuing feelings or committing acts of hostility, abuse or desecration against a religion as well as restrictions on interpretation or activities that deviate from the principles of the teachings of the religion adopted in Indonesia. These restrictions can only be done by Law with the sole purpose of guaranteeing recognition and respect for the freedom of others and to fulfill just demands in accordance with moral considerations, religious values, security and public order in a democratic society. [vide Article 28J paragraph (2) of the 1945 Constitution]. This paper will analyze aspects of constitutionality of blasphemy and criminal liability in the case experienced by Basuki Tjahaja Purnama. Because his speech in the thousand islands fulfilled the elements of criminal acts in Article 156a of the Criminal Code based on the North Jakarta District Court Decision Number 1537/Pid.B/2016/PN.JktUtr. The concept of criminal liability (criminal liability/toerekeningvatsbaarheid) or actually does not only involve legal matters, but also concerns the general moral values or morality adopted by a society or groups in society. Analysis of criminal responsibility in the Islamic blasphemy offense in this paper uses the theory of criminal responsibility, Constitutional Court decision No. 140/PUU-VII/2009, Court Decision on Blasphemy and a comparison of criminal liability in the Netherlands and England.</em></p>}, number={3}, journal={Jurnal Konstitusi}, author={Ramdan, Ajie}, year={2018}, month={Nov.}, pages={616–641} }